Kekurangan Bukan hambatan

Hari ini, saya menghadiri peresmian Pusat Pembelajaran Al Qur’an Braille di sebuah Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Garut. Namanya Pusat Pembelajaran Al Qur’an Braille R.A Lasminingrat.

Acara yang digagas oleh Ikatan Isteri Dokter Indonesia ini merupakan acara pertama yang bisa membuat saya berinteraksi langsung dengan para penyandang tuna netra, tuna daksa serta beragam anak dengan kebutuhan khusus.

Gedung sederhana tempat mereka belajar terdiri dari beberapa ruang kelas. Ada ruang komputer yang dirakit dengan soft ware khusus, ada ruang belajar untuk membaca aksara latin maupun Al Quran dengan huruf Braille. Bahkan ada juga ruang kesenian yang berfungsi untuk menyalurkan bakat mereka di bidang musik.

Sebelum acara dimulai (’penyakit ‘ saya adalah datang terlalu pagi bila mendapat undangan…), saya sempat mengobrol dengan dua orang penyandang tuna netra yang luar biasa. Namanya Bapak Dedi dan Bapak Agus.

Bapak Dedi, seorang pria paruh baya yang sudah menunaikan ibadah haji pada saat duduk di bangku SMA berpuluh-puluh tahun lalu, membuat saya kagum sekaligus malu.

Dengan keterbatasan yang dimiliki, ternyata Pak Dedi sangat lancar membaca Al Quran dalam huruf Braille. Titik-titik kecil itu menjadi alunan nada yang indah bila ujung-ujung jari Pak Dedi dengan lincah ‘mengusap’ semua huruf-huruf tersebut.

Gelar S1 yang dimiliki, membuat Pak Dedi merasa yakin dengan pilihan hidupnya sebagai seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB) dan dosen mata kuliah agama di salah satu universitas swasta di Garut.

Bahkan kini, Pak Dedi adalah seorang PNS dengan pangkat III/b…

Di samping Pak Dedi, duduk sosok yang tak kalah hebatnya. Pak Agus, seorang penyandang tuna netra yang kini sedang mengikuti pendidikan S2 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak cukup hanya S1 tapi S2!

Dengan kepekaaan ujung-ujung jarinya, Pak Agus juga amat lancar membacakan terjemahan ayat-ayat Al Quran yang sebelumnya dibacakan oleh Pak Dedi. Wajahnya yang teduh, membuat saya tidak sanggup berkata banyak. Keuletannya untuk selalu belajar membuat saya merasa bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa.

Buat saya, membaca huruf Braille saja perlu ketekunan khusus. Apalagi mebaca Al Quran dalam huruf Braille. Tetapi menurut Pak Dedi dan Pak Agus, setiap orang normal akan bisa membaca huruf Braille, bila belajar dengan sungguh-sungguh.

Hanya satu kendalanya. Manusia seringkali lupa karena dimanjakan oleh ‘kenormalan’ yang dimiliki. Kita terlena untuk tidak mencari keahlian lain karena dengan membaca biasa saja kita sudah bisa mendapat banyak ilmu. Padahal bila mau belajar, ‘hanya’ dalam 3 bulan setiap orang yang mempunyai kecerdasan normal, akan bisa menguasai huruf-huruf yang ditulis dalam Al Qur’an Braille.

Bayangkan, Pak Dedi dan Pak Agus juga ternyata sangat mahir ‘berselancar’ di dunia maya. Dengan komputer yang di design khusus, mereka dapat mendengar (sebagai ganti membaca) beragam informasi, untuk dibagikan kepada anak didiknya.

Bahkan saat saya menyebut nama blog pribadi ini, dengan antusias Pak Agus ‘mencatatnya’ dengan cara merekam suara ke dalam handphone yang dimilikinya. Apalagi saat saya berniat untuk menulis acara tadi dalam sebuah posting khusus, wah, mereka amat sangat antusias!

Di Garut ternyata banyak anak berkebutuhan khusus yang memiliki prestasi mengagumkan. Ada juara 3 tingkat nasional untuk lomba balap sepeda yang dirancang khusus. Ada juara 1 tingkat propinsi untuk lomba menyanyi (namanya Sherina, hari ini Sherina sedang mengikuti seleksi masuk untuk kuliah di UPI Bandung, semoga lulus ya, Nak…). Ada juga seorang penyandang tuna daksa yang pernah beberapa kali diajak main sinetron di Jakarta.

Hebat, sungguh mengagumkan!

Kekurangan fisik yang dimiliki, ternyata bukan halangan untuk mengukir prestasi. Keterbatasan itu malah menjadikan para penyandang cacat ‘mencari’ kelebihan lain yang diberikan Tuhan kepada mereka.

Saya jadi introspeksi, mengapa saya yang dianugerahi kesempurnaan fisik ini tidak bisa setangguh mereka? Tidak bisa seulet mereka? Tidak bisa ’sesempurna’ mereka dalam berkarya?

0 komentar:

Posting Komentar